Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Wisran Hadi :Kita Belum Punya Kritikus Teater

Oleh: Drs Dasril Ahmad

SEBUAH pementasan teater adalah sebuah karya pentas dengan segala persyaratan yang diperlukan untuk suatu visualisasi. Karenanya, dia harus memenuhi aspek-aspek kesenirupaan, karena dia akan kita lihat. Dia juga harus memenuhi aspek bunyi –termasuk musik, untuk kita dengarkan. Dengan demikian, seorang kritikus teater yang baik harus mempunyai pengetahuan tentang kesenirupaan, punya pengetahuan pula tentang audionya, musiknya dan segala macamnya. Tapi sayang, kita selama ini belum punya seorang pun kritikus teater yang memiliki pengetahuan luas menyangkut segala aspek sebuah karya pentas tersebut. Yang kita punyai justru kritikus-kritikusan yang pintarnya cuma “membedah” karya sastra, termasuk naskah drama, tapi belum menjangkau segi-segi artistik bila karya itu diangkat sebagai sebuah karya pentas. Ini semua mungkin timbul, karena di Fakultas Sastra, mana saja, pembicaraan hanya terbatas pada teks karya sastra, maka si kritikus tentu saja mahir melakukan kritiknya yang utama adalah terhadap karya sastra itu.

Demikian antara lain dikemukakan sastrawan, dramawan dan sutradara teater, Wisran Hadi (1945 – 2011), dalam suatu bincang-bincang mengenai “Teater Indonesia dan Permasalahannya Kini” di kediamannya, Minggu (7/7/1991) lalu. Dikatakan, memang sulit menemukan seorang kritikus teater yang memenuhi persyaratan seperti di atas. Jangankan kritikus, sutradara sendiri banyak yang tidak punya pengetahuan tentang itu. Akibatnya adalah, dia tidak bisa jalan. “Itulah sebabnya, kenapa Rendra terpaksa mencari seorang art-director seperti Rudjito atau seperti Danarto, setiap kali ia mau mentas, karena Rendra juga tidak menguasai hal itu. Tapi saya tidak menyombongkan diri, saya menguasai itu. Saya berasal dari seorang pelukis; saya menguasai musik, saya bisa menyalin musik, mentransformasi musik dari not-balok ke not-angka. Itu masih bisa saya lakukan. Yang tidak saya kerjakan hanya mencipta musik, ya, bermain musik sebagai musik pemusik yang ada,” tukas alumni ASRI Yogyakarta (1969) ini.


kritikus teater vs kritikus sastra
(Alm) Wisran Hadi
Kurang Tepat 

Wisran Hadi pun tak menyangkal bahwa dunia teater Indonesia sejak dahulu sampai kini tumbuh tanpa sentuhan tangan seorang pun kritikus teater yang benar-benar menguasai bidang performing-art itu. Menurutnya, bahwa banyak yang menulis tentang teater memang benar. Kadang-kadang sang sutradara sendiri pun merangkap menjadi penulis kritik, seperti Putu Wijaya, Arifin C. Noer dan lain-lain. “Saya kira tindakan seperti ini kurang tepat,” katanya tanpa argumentasi yang rinci.

Pimpinan group BUMI Teater Padang ini lebih jauh menambahkan, bahwa karena tak adanya kritikus teater di Indonesia selama ini, maka bagi sementara pengamat teater yang disorotnya hanya sutradara dan penulis naskah. Padahal peran pembantu itu bukan main pentingnya. Pentas itu bukan main pentingnya. Naskah bagus sekalipun, timpalnya, dengan penataan pentas yang tidak memenuhi persyaratan, dia akan jadi sebuah pementasan yang mentah. “Nah, bisakah seorang pengamat berkata, karena naskahnya begini pementasannya dalam gambarannya mesti seperti ini. Tapi sewaktu di pentas dia tidak bisa muncul begitu. Kenapa? Karena visualisasinya tidak memenuhi persyaratan,” ujar Wisran lagi. Ditambahkan, karena pengamat tidak bisa menjangkau hal itu, yang disalahkan adalah pemain. Belum tentu pemain salah! Bisa saja pemain-pemain itu kuat semua, tapi karena ia tidak ditata, settingnya tidak diperhitungkan dengan baik, hasilnya tentu tidak baik pula.

Perpacuan Kritik

Khusus mengenai kritik naskah, bagi Wisran hal itu amat menarik. Tidak saja menarik untuk dilisankan, tapi juga menarik untuk diamati. Sebab, nanti perpacuannya akan terlihat jelas. Dipertanyakan, teori pendekatan yang dilakukan oleh kritikus sastra terhadap salah satu karya sastra, apakah masih relevan dengan karya-karya yang telah dan bakal dilahirkan di kemudian hari? Misalnya, ada teori yang lahir tahun 1800-an yang masih dipakai sekarang, sementara karya sastra yang didekati dengan teori itu adalah karya tahun 1900-an. Bila dilakukan pendekatan, masih relevan atau tidakkah teori itu? “Sebab, sastra berkembang teori itu juga mesti harus berkembang. Lalu, bagaimana perpacuan yang dilakukan antara kritikus sastra dengan seorang kreator?” tanyanya.

Tetapi di balik semua itu, dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta, Padang, ini pun menyadari bahwa ia benar-benar merasakan andil besar untuk penulisannya (naskah drama) dari seorang kritikus. Ia menyebut ulasan yang diberikan terhadap naskah dramanya dari Goenawan Mohamad, Umar Junus, Mursal Esten, Pramana PMD dan lain-lain, itu amat menarik baginya. “Goenawan yang mengulas naskah saya “Gaung” (pemenang ketiga sayembara penulisan naskah sandiwara DKJ tahun 1975 –red) mengatakan, bahwa saya termasuk orang yang bisa tajam melihat masalah-masalah sosial. Sebelumnya saya tidak sadar akan hal itu. Tidak tahu. Dan ulasan itu sungguh menarik bagi saya,” ujar Wisran. Sementara Umar Junus di mata Wisran, banyak sekali mengantarkannya pada perpacuan kritik dengan karya sastra itu. “Bahkan yang paling banyak memberikan buku-buku teori kepada saya adalah Umar Junus. Sampai sekarang saya senang dengan teori-teori itu,” demikian pengakuan Wisran, yang sampai kini setidaknya telah menulis 60 naskah sandiwara, 20 cerita pendek, dan “Simalakama” (1975) adalah sebuah kumpulan puisinya.

Kembali ke masalah kritikus teater, di akhir bincang-bincang Wisran Hadi menyatakan bahwa sekolah khusus untuk bidang performing-art itu memang baru ada di New York University, dan secara akademik sampai sekarang baru satu orang dari kita yang khusus mengambil gelar doktor di bidang itu, yaitu Dr. Sal Murgiyanto. “Dia baru tamat, khusus untuk kritik panggung, tapi hanya di bidang tari. Nah, mestinya kita di Indonesia ini juga harus punya untuk bidang teater. Tapi, apakah Sal Murgiyanto akan memenuhi harapan pula untuk menulis kritik-kritik tari? Itu urusan lain lagi,” tutur Wisran mengakhiri perbincangan. (Dasril Ahmad). ***

*) Cuplikan dari tulisan : Wawancara dengan Wisran Hadi: “Setiap Orang Sebenarnya Bisa Bermain Drama”, pernah dimuat: (1) “Budaya Minggu Ini” Harian Haluan, (Padang), edisi, Senin, 22 Juli 1991, halaman XI, dan (2) Majalah Sastra “Horison” (Jakarta), edisi : nomor 2, Februari 1993

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar